Pelaksanaan suatu kegiatan apa saja untuk mencapai tujuan yang diharapkan baik yang dilaksanakan perorangan maupun kelompok, sudah tentunya didahului dengan perencanaan yang matang. Sebab suatu kegiatan yang dilaksanakan tanpa perencanaan tujuannya akan sia-sia, apalagi kegiatan yang dilaksanakan dalam hubungannya dengan kegiiatan untuk suatu persembahan (yadnya) yang ditujukan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan segala manifestasinya, hendaknya dilaksanakan, direncanakan atau dipersiapkan sebelumnya agar tidak mengurangi makna atau arti dari suatu persembahan itu.
Demikian juga pelaksanaan yadnya yang tampak meriah dan semarak hanya dalam penampilannya saja tentulah belum sempurna, dimana kesemarakan dan kemeriahan itu haruslah disertai dengan kedalaman akan makna yang terkandung didalam pelaksanaan yadnya itu. Sebelum pelaksanaan Nyepi Luh dan Nyepi Muani di Desa Ababi ada beberapa tahapan yang perlu dilaksanakan yakni sebagai berikut :
I. Tahap rapat prajuru.
Rapat prajuru ini dilaksanakan untuk menentukan hari yakni penentuan ngejaga di Pura Kedaton/Ulun Suwi dan di Pura Dalem. Setelah mendapatkan hasil kesepakatan dari rapat prajuru ini maka klian Desa adat akan memberikan tugas kepada salah satu tempek untuk mengemban pelaksanaan upacara ngejaga tersebut yang telah diatur secara bergiliran.
II. Tahap Nylampar
Nylampar merupakan kegiatan menangkap ayam dengan cara melempari ayam yang ada dijalan dengan menggunakan kayu atau benda lainnya. Nylampar ini dilaksanakan pada pagi hari, tepatnya empat hari sebelum puncak karya, yang dilaksanakan di Pura Kedaton/Ulun Suwi dan Pura Dalem. Tata cara pelaksanaan nylampar sebagai berikut : krama desa atau pengempon aci berajalan menyusuri jalan yang ada disekitar wilayah Desa Ababi untuk mendapatkan ayam selamparan. Jika salah seorang dari krama/pengempon yang mendapatkan ayam, maka ayam tersebut dibawa ke Pura Puseh untuk diserahkan kepada kelian pangemong aci , bersamaan dengan hal itu kentongan (kulkul) di Pura Puseh dibunyikan sebagai pertanda bahwa kegiatan nylampar sudah berakhir. Artinya salah seorang pengemomg aci sudah mendapatkan ayam selamparan, apabila ada yang mendapatkan ayam setelah kentongan (kulkul) berbunyi maka ayam tersebut harus dilepas kembali.
Ayam dalam hal ini adalah sebagai simbol dari sifat rajas (aktif) yang ditandai dengan sifat suka bertengkar, berbuat sekehendak hati dengan tidak memperhatikan da menghiraukan orang lain, yang didorong oleh nafsu belaka, tidak mampu membedakan mana yang baik dan buruk (wawancara dengan Made Adnyana 31 Mei 2008)
Manusia semenjak lahir mempunyai sifat sebagai karakter yang disebut dengan Tri Guna yang terdiri dari satwam, rajas, tamas. Ketiga guna ini terdapat pada semua orang, namun intensitasnya yang berbeda-beda, perpisahan ketiga guna tersebut tidak akan terjadi, kerena dengan demikian tidak akan ada suatu gerak apapun pada manusia. Ini berarti hilangnya eksistensi kemanusiaan dan semua terhenti dalam ketidakadaan. Penampilan dari guna akan tampak pada tabiat masing-masing, karena semua karya dan perbuatan seseorang akhirnya sebuah realisasi dan kerjasama dari ketiga guna tersebut (Sura, 1986 : 7).
Ayam dalam konteks Nylampar ini sebagai simbolisasi dari sifat rajas, tamas yang harus diminimalisasi. Jadi Nylampar adalah untuk meminimalisasikan sifat-sifat yang disimbolkan oleh sifat ayam yaitu sifat rajas dan tamas agar sifat-sifat krama Desa Ababi lebih dominan dikuasai oleh kecendrungan sifat sattwam sebagai kualitas hidup beragama dalam tatanan masyarakat krama Desa Ababi. Ayam hasil selamparan disembelih, darahnya diambil dengan menggunakan alas tempurung kelapa (kau-kau) ditempaatkan di Sanggah Kliwon. Sanggah Kliwon terbuat dari klatkat berbentuk segi tiga (bucu telu), ditancapkan pada setiap pertigaan dan perempatan di wilayah Desa Ababi. Di pertigaan dipersembahkan kehadapan Sang Catur Warna dan yang diperempatan dipersembahkan kehadapan Sang Sapu Jagat, serta ditancapkan di depan semua Pura yang menjadi emponan Desa Ababi, diantaranya Pura Rajapati, Pura Ayu, Pura Beji, Pura Kedaton, Pura Sang Sega, Pura Melanting, Pura Pasucian, Pura Gedong Jro Ketut, Pura Dalem, Pura Puseh. Apabila sanggah Kliwon tersebut sudah ditancapkan, itu menandakan bahwa upacara ngejaga sudah akan dilaksanakan, sehingga masyarakat dapat mempersiapkan diri sedini mungkin untuk menyambut upacara tersebut baik dalam persiapan materi maupun kesiapan diri.
III. Tahap Nyirenin
Nyirenin adalah kegiatan menyeleksi anak sapi (godel) yang akan dipergunakan sebagai sarana upakara Ngejaga Kalesan, tata cara pelaksanaanya sebagai berikut : setelah tahapan nylampar, krama desa yang memiliki sapi beranak, dikoordinasikan oleh pengemong aci agar mengumpulkan sapi beserta anaknya (godel) yang dibawa oleh krama desa ke jaba Pure Puseh. Pengemong aci selanjutnya menyeleksi anak sapi (godel) yang belum ditelusuk (ditusuk hidungnya) untuk mencari “godel pagorsi” dengan ciri (ules) warna merah dengan suwer (usuhan) di jidatdan pergelangan kaki bulunyya berwarna putih.
Setelah ciri itu ditemukan pada salah satu anak sapi (godel), pangemong aci mengadakan pembicaraan dengan pemilik godel (anak sapi) tentang kesepakatannya apakah anak sapi tersebut akan dipersembahkan atau dijual kepada pengemong aci. Dulu seekor anak sapi (godel) yang terpilih untuk caru, biasanya dihaturkan oleh krama pemiliknya, namun dengan perkembangan saat ini dimana harga sapi cukup mahal maka pemilik menghaturkan ke pura sebagian atau setengahnya lagi di bayar pihak desa. Jika kesepakatan telah didapat maka semua sapi akan dikembalikan kepada pemiliknya. Anak sapi (godel) yang telah dipilih untuk sarana ngejaga kalesan disuruh agar dibawa pulang dan dibawa kembali ke jaba Pura Puseh.
Sehari menjelang upacara Ngejaga Kalesan dilaksanakan anak sapi (godel pagorsi) yang didapat melalui maceciren itu sudah berada dijaba Pura Puseh untuk disembelih, kemudian dikuliti serta kepalanya dijadikan “bayang-bayang” dagingnya dijadikan olahan kalesan. Setelah semua olahan siap barulah mulai membuat kalesan, kalesan ini ada dua macam yaitu kalesan kuning dan kalesan gadang (hijau). Kalesan kuning pembungkusnya dibuat dari janur kuning (busung) sedangkan kalesan gadang (hijau) pembungkusnya dibuat dari daun enau (ron). Kalesan ini nantinya akan diperebutkan (mejurag) pada saat ngejaga di Pura Kedaton/Ulun Suwi dan juga di Pura Dalem (wawancara dengan I Nyoman Subrata,1 Juni 2008).
IV. Tahap Mesalaran
Mesalaran adalah mencari salaran yaitu segala sesuatu yang terjual dipasar yang bisa dijadikan sarana upakara dalam pelaksanaan upacara Ngejaga Kalesan. Untuk upacara Ngejaga Kalesan di Pura Kedaton, mesalaran dilakukan pada saat pasah menjelang Tilem Kapitu dan untuk upacara Ngejaga Kalesan di Pura Dalem dilaksanakan pada saat pasah menjelang Tilem Kaulu. Mesalaran dilaksanakan pada saat pasah karena bertepatan dengan hari pasaran di pasar Desa Ababi. Pangemong aci memasuki pasar, mencari segala yang terjual di pasar (isin peken) secara bersamaan semua pedagang secara suka rela mempersembahkan dagangannya untuk sarana upakara Ngejaga Kalesan. Kepercayaan para pedagang apabila dapat mempersembahkan barang dagangannya seperti beras, bumbu-bumbuan, kacang-kacangan, buah-buahan (phala bungkah dan phala gantung) suatu saat rejeki akan bertambah kemudian semua hasil salaran tersebut dibawa ke Pura Puseh untuk sarana upakara (wawancara dengan I Made Adnyana 31 Mei 2008).
V. Kegiatan di Pura Puseh , yakni pembuatan jajan dan sarana upakara lainnya dengan mengerahkan seluruh krama tempek pengempon aci baik yang laki-laki maupun perempuan untuk ngaturang ngayah. Tiga hari sebelum upacara Ngejaga Kalesan dilaksanakan maka diadakan upacara negtegang beras ketan (semua material yang akan digunakan sebagai sarana upakara) di upacarai dengan tujuan agar yadnya yang dipersembahkan berjalan dengan sukses dan tidak kurang sesuatu apapun. Kemudian sehari sebelum atau pada saat Ngejaga Kalesan baik di Pura Kedaton/Ulun Suwi maupun di Pura Dalem dilakukan upacara ngaturang piuning di Pura Kahyangan Desa yang dipuput oleh pemangku Desa di Pura Desa, pemangku Puseh di Pura Puseh dan pemangku Dalem di Pura Dalem.
VI. Pelaksanaan Ngejaga Kalesan
Mempersiapkan sarana dan prasarana upacara Ngejaga Kalesan yang dilaksanakan pada Kajeng menjelang Tilem Kapitu dan Tilem Kaulu yang pelaksanaannya pada saat matahari terbenam (sore hari), pada saat itu dilakukan beberapa rangkaian juga seperti ; a) nglukat banten ; b) mejurag kalesan (nasi yang telah dibungkus dengan ron (daun enau) yang isinya berupa olahan lawar Bali sebagai hasil rebutan kemudian dibawa pulang oleh masing-masing krama Desa adat Ababi, nasi tersebut sebagian ada yang dimakan, sebagian ada yang disebarkan kesawah, ladang, rumah dan juga diberikan kepada orang yang memang belum memperoleh nasi lewat mejurag tadi, nasi kalesan itu dipercaya sebagai berkah yang akan memberikan kemakmuran dan kesuburan bagi hasil pertanian terutama padi dimana sebagaian besar wilayah Desa Ababi merupakan persawahan subur ; c) mecaru dengan menggunakan godel pagorsi, anjing bang bungkem, babi butuan dan ayam hitam (siap selem) tujuannya adalah untuk memohon kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa agar manusia dalam kehidupannya dianugerahi ketenangan, berupa keharmonisan antara bhuana agung dan bhuana alit ; d) persembahyangan bersama ini dilakukan di Pura Kedaton/Ulun Suwi dan Pura Dalem persembahyangan diawali dengan melakukan Puja Tri Sandhya dan kramaning sembah setelah itu krama Desa (pamedek) kembali kerumah masing-masing dan rangkaian upacara disineb (wawancara dengan I Made Adnyana, 31 Mei 2008).
VII. Pelaksanaan Nyepi Luh dan Nyepi Muani
Sehari setelah upacara Ngejaga Kalesan berakhir, maka keesokan harinya dilaksanakan Nyepi Luh dan Nyepi Muani. Pelaksanaan Nyepi Luh dilaksanakan sehari setelah pelaksanaan upacara Ngejaga Kalesan di Pura Kedaton/Ulun Suwi. Nyepi Luh disebut juga Nyepi Wadon karena Nyepi ini diperuntukkan bagi krama yang berjenis kelamin perempuan. Segala aktivitas yang biasanya dilakukan seperti memasak, berjualan, berdagang, dan aktivitas lainnya dihentikan oleh seluruh krama perempuan Desa adat Ababi. Kemudian segala kegiatan tersebut dilakukan sepenuhnya oleh krama yang laki-laki karena pada saat itu belum dilaksanakan Nyepi Muani. Pelaksanaan Nyepi Luh ini dimulai pada pukul enam pagi yang ditandai dengan suara kulkul (kentongan) di Pura Puseh, saat itu para perempuan tidak melakukan kegiatan apapun namun mereka melakukan persembahyangan di Pura Kedaton/Ulun Suwi.
Masyarakat percaya bahwa pada saat berlangsungnya Nyepi Luh yakni dengan melakukan persembahyangan dalam rangka ngiring bhatara Sri mesesanjan (meliang-liang). Dimana setelah sekian lama melakukan aktivitas keseharian seperti bertani, berladang maka perlu dilakukan penghentian aktivitas selama setengah hari, dengan tujuan untuk mengucapkan rasa syukur dan bhakti kita kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang telah memberikan hasil panen yang baik dan kesejahteraan di masyarakat.
Sebulan setelah pelaksanaan Nyepi Luh (pradhana) atau sehari setelah Ngejaga Kalesan di Pura Dalem dilaksanakan Nyepi Muani (Lanang). Pelaksanaan Nyepi Muani ini hampir sama dengan Nyepi Luh, dimana semua krama laki-laki yang ada di Desa Ababi tidak melakukan aktivitas seperti ke sawah, berladang, dan yang lainnya. Semua kegiatan tersebut sepenuhnya diambil alih oleh krama yang perempuan sedangkan krama yang laki-laki melakukan persembahyangan di Pura Dalem. Nyepi Muani ini di mulai pada pukul enam pagi ditandai dengan bunyi kulkul (kentongan) di Pura Puseh dan berakhir pada pukul enam sore harinya juga ditandai dengan bunyi kulkul (kentongan) di Pura Puseh (Wawancara dengan I Nyoman Subrata, 1 Juni 2008)
Pada dasarnya Nyepi Luh dan Nyepi Muani ini pelaksanaannya hampir sama namun yang membedakan disini adalah yang melaksanakan yakni krama perempuan dan krama laki-laki. Dalam hal ini krama perempuan dan laki-laki diberikan kebebasan untuk tidak melakukan aktivitas seperti biasanya, sehingga dalam waktu setengah hari tersebut masyarakat dapat melakukan persembahyangan dan perenungan/introspeksi diri terhadap segala sesuatu dan tindakan yang sudah lewat serta melakukan sesuatu yang lebih baik dari sebelumnya. Nyepi atau sipeng 12 jam dilaksanakan supaya masyarakat bisa ngeret indriya, mengendalikan indrawi, agar tidak liar. Catur Brata Penyepian pun dilaksanakan pengendalian itu dimulai dengan tiada gerak fisik bahkan pikiran kecuali melaksanakan ppersembahyangan dalam rangka “ngiring iida bhatara mesesanjan” (amati karya), tidak menyalakan api , tidak memasak dan tidak menyalakan lampu penerangan, tiada api nafsu (amati geni), kecuali kepasrahan bhakti total-utuh atas kuasa-Nya. Tidak menikmati keindahan atau sesuatu yang mengasyikkan seperti menikmati hiburan musik, lagu, tari, film, TV, pikiran dipusatkan merenungkan keagungan-Nya, untuk amulat-sarira/intropeksi (amati lalanguan). Tidak bepergian kemanapun, tidak keluar rumah adalah upaya untuk mendukung kegiatan tapa, brata, yoga dan semadhi, tiada keberangkatan fisik (amati lelungan). Dalam amati lelungan ada perkecualian apabila salah satu masyarakat ada kepentingan yang sangat menDesak seperti sakit dan yang lainnya. Sedangkan pada saat Nyepi Luh dan Nyepi Muani masyarakat yang berada di luar wilayah desa adat Ababi boleh datang ke wilayah Desa Ababi. Nyepi disini menjadi penting sebagai langkah awal untuk mengucapkan rasa syukur, terimakasih atas hasil yang telah diterima dari hasil pertanian yang didapatkan. Dan sebagai renungan apa yang telah dikerjakan selama ini apakah telah sesuai dengan hasil yang didapatkan dan untuk menelaah apakah ada kekurangan atau suatu kesalahan yang dilakukan dalam kegiatan pertanian, dan sebagai pedoman untuk melakukan kegiatan yang akan datang agar hasil dari pertanian menjadi lebih baik dan dapat memberikan kesejahteraan terhadap masyarakat (Wawancara dengan I Made Adnyana, 31 Mei 2008).
Dalam pelaksanaan Nyepi Luh dan Nyepi Muani ini tidak ada aturan yang dibuat secara tertulis, sebab dalam pelaksanaanya hanya berpedoman pada dresta atau tradisi yang dilaksanakan secara turun- temurun. Oleh karena itu tidak ada sanksi yang tertulis pula yang diterapkan apabila ada krama yang melanggar Nyepi Luh dan Nyepi Muani ini. Namun disini lebih menekankan pada sanksi moral artinya masyarakat diharapkan lebih berkonsentrasi dan berusaha untuk mengendalikan diri serta indria-indrianya ke arah yang positif karena ini menyangkut hubungan antara manusia dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa.
Sesungguhnya pelaksanaan Nyepi Luh dan Nyepi Muani ini merupakan suatu kegiatan keagamaan yang dilaksanakan oleh masyarakat Desa Ababi sebagai salah satu usaha untuk mengendalikan diri terhadap sifat yang kurang baik di dalam usaha mewujudkan tujuan hidup, sehingga terwujudlah sifat yang lebih baik dalam usaha menyucikan bhuana agung dan bhuana alit atau alam makrokosmos dan mikrokosmos, maka tercapailah tujuan bersama yaitu kesejahteraan dan kebahagiaan lahir bhatin.